Penulis : P. Dedy.S
Sumber : Markus 6:7-13
Menjadi murid bukan berarti harus bersikap duduk manis saja dan menerima saja segala apa yang diberikan oleh gurunya. Menjadi murid itu bukanlah bertindak demikian, melainkan menerapkan dan menjalankan segala yang telah diterimanya sendiri. Dengan melaksanakan segala yang didapat, akan membuat diri kita bukan lagi menjadi murid lagi, melainkan berubah menjadi pribadi yang bertugas sebagai seorang utusan dan sekaligus sebagai penyambung lidah guru. Inilah yang dinamakan RASUL.
Setiap orang yang telah dibaptis dan menerima Sakramen Krisma telah mengambil peran sebagai murid yang harus dengan berani mempertanggungjawabkan segala karunia yang Allah sudah berikan kepada diri sendiri. Sebab dengan baptis dan krisma, setiap orang telah dimeteraikan oleh Allah. Karena itu oleh Allah telah digolongkan ke dalam jajaran orang-orang yang dipanggil dan diutus-Nya pula. Tentu dalam melaksanakan tugas sebagai murid dan sekaligus utusan, Tuhan tidaklah pernah salah dalam memilih orang-orang yang dipanggil dan dikehendaki untuk melaksanakan tugas-tugas itu. Hanya cara Tuhan memanggil dan menghendaki orang-orang dipilih-Nya menggunakan cara yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Tugas utama sebagai seorang murid dan sekaligus utusan yaitu MEWARTAKAN SABDA TUHAN, MEMBERI KESAKSIAN, MEMBUKA PINTU PERTOBATAN bagi banyak orang dan MENGHIMPUNNYA dalam persekutuan dengan YESUS SEBAGAI IMAM AGUNG. Dalam melaksanakan tugas pewartaan dan pertobatan ini, bukanlah harus mengetuk dari satu pintu ke pintu yang lain sambil menyerukan pertobatan, melainkan mewartakan dan menyerukannya melalui sikap dan perbuatan diri sendiri yang dapat menjadi tanda kehadiran Allah dalam diri setiap orang yang dijumpai. Mewartakan dari apa yang kita dengar dan baca itu mudah, tetapi ketika diri kita diminta untuk membuktikan sendiri segala apa yang telah kita katakan itu ke dalam perbuatan dan sikap, itu yang tidak mudah untuk dilakukan. Semuanya membutuhkan proses yang panjang dan perjuangan yang berat. Semuanya itu akan dapat dilakukan jikalau ada di dalam diri kita kemauan untuk mulai dan dengan serius melaksanakannya. Jadi, kalau kita menyerukan pertobatan bagi banyak orang, haruslah diri kita sendiri yang sadar dan mau mengawalinya lebih dulu yaitu melakukan pertobatan. Bagaimana mungkin kita mampu menyerukan pertobatan, namun diri kita sendiri tidak mau bertobat dan berbenah diri. Kalau hal ini yang terjadi, maka bukan pewartaan yang kita lakukan, melainkan kemunafikan.
Di satu sisi kita juga patut bersyukur karena Roh Allah sendiri yang memilih kita sebagai murid dan orang-orang yang diutus-Nya; di sisi lain kita harus siap menghadapi segala ketidakenakan dalam hati karena mengalami penolakan, pengusiran dan berbagai hal yang dapat melemahkan semangat sebagai seorang utusan Allah (Bdk Amos 7:12-15). Banyak hal yang membuat diri kita ditolak, diusir dan diremehkan dalam menjalankan tugas perutusan, di antaranya: faktor pendidikan, faktor status, faktor latar belakang keluarga, faktor kepopuleran dan faktor-faktor lainnya. Melalui peristiwa penolakan itu, sesungguhnya Allah mau memberikan pembelajaran kepada diri kita, agar kita menjadi lebih sabar dan rendah hati dalam menjalankan tugas sebagai seorang utusan. Sebab kesabaran dan kerendahan hati merupakan kunci utama dalam pewartaan; karena yang menjadi pusat pewartaan adalah Allah sendiri, bukan diri kita. Maka, kalau kita ditolak bahkan diusir hanya karena pewartaan, sesungguhnya demikianlah Allah terlebih dahulu mengalaminya. Dengan demikian, kita akan mengalami bagaimana perasaan hati Allah yang juga mengalami penolakan dan pengusiran dari hadapan mahkluk ciptaan-Nya.
Ketika semangat kita mulai mengalami kelunturan akibat penolakan dan pengusiran di saat menjalankan tugas perutusan, maka sebaiknya marilah kita kembali kepada Allah yang tetap mengasihi diri kita dan yang telah pula memilih dan menetapkan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Sebab kita menjadi murid karena kehendak Allah, bukan kehendak diri kita sendiri. Melalui kehendak-Nya, Allah ingin menguduskan diri kita dan mengangkat diri kita menjadi anak-anak-Nya berkat darah Yesus (Bdk. Efesus 1:3-14).
Maka sebagai murid dan seorang utusan, kita diharapkan mempunyai sikap LEPAS BEBAS dari segala hal yang menghalangi dan membebani, terutama hal keduniawian dalam melaksanakan tugas perutusan tersebut; supaya hanya kuasa Allah yang menyertai kita (Bdk. Markus 6:7-13). Selama diri kita belum mampu bersikap LEPAS BEBAS dari segala keduniawian, maka kuasa Allah akan sulit juga tinggal di dalam diri kita, sebab segala pikiran dan hati hanya terpusat pada kebutuhan dan urusan duniawi, sehingga melupakan hal-hal yang berkaitan dengan kerohanian termasuk peran dan campur tangan Allah di dalam segala tugas yang kita laksanakan. Inilah yang dapat memicu diri kita jatuh ke dalam kegagalan di dalam tugas pewartaan. Dengan sikap LEPAS BEBAS, kita akan menjadi orang yang tidak terikat dan terbebas dari segala kelekatan yang suatu waktu dapat membuat diri kita terlena dan jatuh pada kebutuhan duniawi semata. Memang tidaklah dapat dipungkiri bahwa kebutuhan duniawi dan rohani sama pentingnya, namun kita haruslah bijaksana dalam menggunakannya. Sebab kebutuhan duniawi itu tidak akan pernah memberikan kepuasan di dalam diri kita. Hanya Allah dan segala kuasa-Nya yang dapat memberikan kita kelegaan dan kepuasaan dari segala apa yang kita butuhkan. Sebab Allah sudah melihat sendiri apa yang kita butuhkan sebelum kita memohonkannya kepada Allah. Karena itu, kita perlu menyerahkan segalanya hanya kepada Allah dan membiarkan kuasa Allah bekerja atas diri kita.
No comments:
Post a Comment