Penulis : P. Dedy. S
Sumber : Markus 6:1-6
Ketika mendengar kata Nabi, rata-rata semua orang akan berpikir tentang sosok pemuka agama di jaman dulu. Sosok ini mempunyai kontak langsung dengan Allah, sehingga pesan dari Allah ini langsung diterima dan dijalankan, sehingga tidak mustahi kalau mereka disebut sebagai orang yang berhati suci karena dipilih Allah untuk dapat melihat-Nya melalui aneka ragam perwujudan.
Sedangkan di era jaman sekarang, apakah masih ada orang-orang yang dipilih Allah untuk menjadi seorang Nabi? Dengan kata lain, orang yang dalam pandangan Allah masih dapat dikatakan menjalani hidupnya di dalam kesucian. Apa sesungguhnya ukuran kesucian dalam pandangan Allah? Belum tentu yang di mata manusia nampak dipenuhi dengan dosa, tetapi di mata Allah pun dipandang demikian. Manusia cenderung melihat dosa karena perbuatannya bukan serta merta dengan hal yang melatarbelakanginya. Namun, lain manusia lain pula Allah. Allah mempunyai ukuran dan kriteria sendiri dalam mengakui tingkat kesucian dan kedosaan setiap manusia. Ukuran dan kriteria ini tidak dapat diketahui oleh seorang manusia pun. Hanya Allah melalui pewahyuan-Nya menyampaikan dan mengajarkan kepada manusia segala hal yang dapat membuat manusia menjadi suci karena mampu menghadapi segala hal yang menjatuhkannya, bukan menghindarinya. Karena orang yang berani menghadapi tantangan, kesulitan, ketidakenakan,; dialah yang akan mendapatkan banyak pembelajaran untuk masuk dalam himpunan orang tersuci-Nya. Sebaliknya, yang cenderung menghindari segala tantangan dan godaan, sewaktu-waktu dapat terjatuh dengan sendirinya tanpa disadari. Maka, usaha penghindaran yang dilakukannya akan menjadi sia-sia.
Dengan petunjuk dan nasehat Allah yang kita dapat dari ajaran agama dan keimanan, itulah yang menjadi jalan menuju kepada kesucian. Semakin tekun melaksanakan segala perintah dan kehendak-Nya, semakin pula kita akan dihadapkan dengan berbagai hal yang mengguncang-guncangkan iman dan keyakinan kita. Bahkan hati kita sendiri dikoyak-koyak. Bagi yang mampu bertahan, dialah yang akan beroleh kemurahan dari tangan Allah. Sebaliknya, bagi yang kehilangan kemampuan untuk bertahan, dialah yang akan jatuh pada penghakiman.
Sebenarnya setiap saat Allah itu melihat ke arah manusia untuk mengetahui siapa saja di antara manusia di dunia ini yang dapat dipercaya untuk diangkat-Nya sebagai perpanjangan tangan dan lidah Allah. Begitu Allah mengetahui dan menemukannya, orang yang dipilih-Nya ini akan banyak beroleh kemurahan dari tangan-Nya. Orang-orang yang telah dipilih-Nya, inilah yang juga dipanggil-Nya.
Tugas Kenabian bukanlah tugas kaum tertahbis dan biarawan biarawati saja, melainkan tugas semua orang yang sudah dibaptis dan telah menerima Sakramen Krisma. Ketika diri kita memutuskan diri MAU dibaptis dan MAU pula menerima sakramen krisma, berarti kita sudah dengan berani MAU menanggapi panggilan Tuhan dan melaksanakan tugas perutusan-Nya yakni TUGAS KENABIAN. Dengan menjalankan tugas kenabian, berarti kita telah ikut ambil bagian dalam salah satu dari TRI TUGAS KRISTUS (NABI, IMAM dan RAJA). Tugas kenabian yang dimaksudkan adalah MEWARTAKAN SABDA TUHAN dengan penuh penghayatan akan hidup dan tetap mengalami kemesraan dengan Tuhan. Karena itu sebelum melaksanakan tugas kenabian tersebut, setiap dari kita diharapkan terlebih dahulu MAU belajar dari sumber utama yakni KITAB SUCI, dan MAU dibimbing oleh Roh dalam menghidupi Sabda tersebut. Inilah yang dinamakan SIKAP SEORANG MURID.
Dalam melaksanakan tugas kenabian, diri kita akan dihadapkan dengan banyak perkara, rintangan dan kesulitan; baik yang berasal dari dalam diri sendiri (Faktor internal) maupun dari luar diri sendiri (Faktor eksternal).
Secara Faktor internal, kita ditantang untuk berani terbuka terhadap rahmat dan bimbingan Tuhan dan mengambil peran sebagai murid dengan semangat rela berkorban terutama hati dan waktu untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan hidup di dalam persekutuan dengan hadir pada setiap pertemuan di lingkungan dan wilayah.
Sedangkan Faktor eksternal, kita akan menjumpai ragam orang dengan ragam latar belakang dan karakternya; yang sewaktu-waktu dapat menciutkan hati kita, karena adanya penolakan, memandang rendah, pencibiran dan segala macam tantangan lainnya yang akhirnya membuat diri kita terasa gagal dalam tugas pewartaan itu. Namun, apabila kita bekerja sama dengan rahmat Tuhan, kegagalan tidak akan pernah menimpah diri kita (Bdk. Yehezkiel 2:2-5).
Sedangkan Faktor eksternal, kita akan menjumpai ragam orang dengan ragam latar belakang dan karakternya; yang sewaktu-waktu dapat menciutkan hati kita, karena adanya penolakan, memandang rendah, pencibiran dan segala macam tantangan lainnya yang akhirnya membuat diri kita terasa gagal dalam tugas pewartaan itu. Namun, apabila kita bekerja sama dengan rahmat Tuhan, kegagalan tidak akan pernah menimpah diri kita (Bdk. Yehezkiel 2:2-5).
Agar tidak timbul kegagalan dalam pewartaan, kita perlu menghindari sikap iri terhadap kelebihan orang lain, lalu belajar menerima kekurangan diri. Sebab justru di balik kelemahan dan kekurangan yang kita miliki, di sana Tuhan melebihkan diri kita dengan segala ragam kelebihan yang menjadi kekhasan diri kita sendiri. Namun, jangan sampai kita menjadi terlena dan terjatuh oleh kebanggaan diri sendiri, melainkan berbangga karena Kristus yang berkarya di dalam diri kita (Bdk. 2 Korintus 12:7-10). Karena itu setiap tugas kenabian perlu kembali kepada Sabda Tuhan dan senantiasa terbuka akan bimbingan Roh, sebab Sabda Tuhan itulah yang kita wartakan bukan diri kita sendiri. Karena itu setiap orang perlu mempunyai WIBAWA ILAHI yang dapat diperoleh dengan cara banyak melakukan refleksi, introspeksi dan merenungkan segala tingkah laku sehari-hari serta menerima Sabda Allah dengan sepenuh iman di dalam hati tanpa melihat siapa yang diutus oleh Allah dalam menyampaikan Firman-Nya ( Bdk. Markus 6:1-6). Dengan berani masuk ke dalam diri dan melakukan refleksi, introspeksi dan merenung, kita akan semakin dimampukan oleh Allah untuk mengenal apa sejatinya kehendak-Nya dalam diri kita. Karena tidak semua kepahitan yang kita alami menjadi awal dari kegagalan dalam melaksanakan tugas kenabian, justru di situlah diri kita makin ditantang; apakah dengan iman, kita tetap berani mengambil konsekuensi dari tugas kenabian yang dipercayakan Allah kepada diri kita?
No comments:
Post a Comment