Penulis : P. Dedy. S
Sumber: Markus 10:2-16
Dalam kitab suci banyak diberikan simbol tentang hubungan ikatan kesatuan antara Allah dan kita manusia. Salah satu simbol yang menunjukkan relasi kesatuan itu adalah kesatuan kasih antara suami dan istrinya. Hanya kasih yang dapat menyatukan hubungan kita dengan Allah; sama seperti yang dicurahkan dan diungkapkan oleh suami dan istri. Tentu saja tiada bentuk kasih yang sangat besar selain pengorbanan. Karena itu untuk mencapai kesatuan itu dari diri kita sendiri harus berani meninggalkan segalanya, seperti halnya suami dan istri harus berani meninggalkan orangtuanya, keegoannya dan segalanya untuk bersatu menjadi satu daging dan hidup tak terpisahkan atau terceraikan. Bagaimana dengan kasih yang ada di dalam diri kita? Masih adakah kasih itu?
Karena kepedulian Allah, maka Ia menunjukkan kasih-Nya kepada kita, sehingga setiap orang tidak dibiarkannya hidup seorang diri. Allah memberikan seorang penolong bagi diri kita masing-masing, supaya dengan mengalami pertolongan yang datang dari sesama, kita dapat mengalami perjumpaan dengan Allah dan mengalami kasih-Nya. Sama seperti Adam manusia pertama yang tidak dibiarkan oleh Allah sendirian, melainkan diberikan seorang teman dan sekaligus partner yang sepadan, sederajat dan semartabat. Agar keduanya dapat saling kerja sama. Karena itu lelaki dan perempuan pada dasarnya adalah sederajat, karena keduanya saling melengkapi dan saling mengungkapkan cinta kasih Allah. Maka kunci kasih yang harus diungkapkan adalah saling bertanggungjawab (Bdk. Kejadian 2:18-24).
Penjelmaan Allah dalam diri Yesus sebenarnya mau menjadi perantara relasi antara kita dengan Allah dan relasi kita dengan sesama, karena Allah yang ada dalam diri Yesus melihat kerenggangan hubungan itu yang terlahir oleh karena ego yang kita bangun bukan kasih. Karena alasan itulah Yesus memilih tidak menikah dan tidak berkeluarga supaya Ia tidak membatasi kasih secara khusus kepada hanya satu orang saja. Kasih-Nya mutlak kepada semua orang yang mau dikasihi-Nya (Bdk. Ibrani 2:9-11). Kasih Kristus yang penuh dan utuh kepada umat-Nya itulah yang harus menjadi lambang persatuan perkawinan umat kristiani sejati.
Sebuah perkawinan janganlah dilihat keindahannya dari pesta atau segala kenikmatannya, melainkan yang utama adalah kesungguhan dan kesetiaan dalam diri kedua mempelai di hadapan Tuhan untuk saling mengasihi dan bertanggungjawab. Karena itu janji setia perkawinan di hadapan Allah harus mencerminkan dan mempersatukan kasih antar keduanya untuk selamanya dalam suka maupun duka. Karena itu ditegaskan “Apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Karena itu sebelum memutuskan perkawinan, haruslah lebih dahulu mampu saling mengenal kelebihan dan kekurangannya lalu berusaha saling meneguhkan secara tulus ikhlas dan penuh kasih setia seperti halnya Allah yang selalu mengenal diri kita dan senantiasa meneguhkan hati kita (Bdk. Markus 10:2-16).
No comments:
Post a Comment