Friday, April 3, 2015

HUKUMAN MATI BUKANLAH SOLUSI AKHIR

Penulis : P. Dedy. S

Ada beberapa negara yang masih menerapkan hukuman mati termasuk Indonesia. Kalau kita bersedia menengok lebih dalam ke hati kita sebagai manusia yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi di atas segala makhluk, pantaskah sebagai sesama manusia menerapkan hal ini? Apakah sejatinya kematian adalah hak kita? Bukankah kematian adalah hak kepemilikan Tuhan, sedangkan kita bukankah harus memperjuangkan hak hidup? Namun mengapa antar sesama sudah kehilangan hak hidup dan lebih mengambil alih apa yang seharusnya menjadi hak Tuhan. Apakah manusia yang memberlakukan hal ini sudah memiliki status melebihi Tuhan Allah?

Dalam sejarah iman, Bunda Maria pun ketika kedapatan mengandung di luar nikah, dirinya sudah terancam hukuman mati dengan cara dirajam yaitu dilempari batu sampai mati. Hukum ini berlaku saat itu, walaupun Kitab Suci tidak menuliskannya secara detail. Dengan pemberian hukuman ini, adat istiadat pada waktu itu bertujuan agar perbuatan seperti ini tidak terulang lagi pada orang lain atau generasi selanjutnya, karena jelas-jelas melanggar undang-undang peradatan dan merusak moral kaum hawa dan generasi muda selanjutnya. Para pemuka agama dan adat tidak menghendaki terlalu banyak korban akibat meniru perilaku ini. Maka dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang akan menyelamatkan banyak orang termasuk generasi muda. Seandainya waktu itu terjadi hukum rajam, tidaklah mungkin Yesus sampai terlahir ke dunia. Yesus akan mengalami kegagalan dalam upaya ZELUS ANIMARUM (Penyelamatan terhadap jiwa-jiwa pendosa). Tetapi untungnya Yusup mau mendengarkan nasehat malaikat dan bersedia menerima Maria sebagai istrinya. Karena Yusup tahu dan sadar bahwa kehamilan Maria bukanlah karena perbuatan zinah, melainkan campur tangan Allah terhadap karya PENYELAMATAN. Dengan pengakuan Yusup, Maria memperoleh hak hidupnya dan karya Yesus dapat dilanjutkan. Dengan menyelamatkan Maria, Yusup mau mengatakan kepada hukum yang berlaku saat itu bahwa hukuman mati bukanlah satu-satu sebuah solusi mengakhiri permasalahan. Apabila dalam hati dan pikiran masih terbuka unsur positif, maka masih terbuka pula solusi terbaik demi keselamatan banyak orang termasuk pribadi yang seharusnya menerima hukuman itu.

Selain Maria, masih ada perempuan lain lagi yang mendapatkan hukuman mati yakni perempuan yang kedapatan berzinah lalu oleh para imam, pemuka agama dan pemuka adat dibawa ke hadapan Yesus untuk diadili dan dijatuhi hukuman mati. Dengan sangat jelas para pemuka agama, pemuka adat dan pemberlaku hukum menyampaikan segala alasan agar hukuman mati itu dijatuhkan kepada perempuan itu agar perbuatannya berhenti sampai di situ dan tidak menular kepada kaum hawa lainnya termasuk kepada generasi muda yang akan menjadi korban perbuatannya. Dengan menghukum mati satu pelaku akan menyelamatkan banyak jiwa. Namun Yesus belajar dari pengalaman-Nya sejak di dalam kandungan, bahwa ibu-Nya pun pernah mengalami hal yang serupa. Yesus juga tahu bahwa pemberian hukuman mati bukanlah satu-satunya sebuah solusi. Sebenarnya Yesus bisa saja menyetujui hukuman itu sebab Dia adalah 100% Allah, dan hanya Allah yang berhak menjatuhkan hukuman mati atas manusia dan perbuatannya. Namun Yesus tidak melakukannya, agar semua orang tahu dan sadar akan pentingnya memperjuangkan hak hidup antar sesamanya. Karena itu Yesus meminta pengakuan dari semua yang hadir dan yang menonton hukuman itu berlangsung " Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu " (Bdk. Yoh 8:7). Namun apa yang terjadi, tidak ada satupun orang yang berani melemparkan batu kepada perempuan itu termasuk Yesus. Perkataan Yesus ini telah menyadarkan semua pihak bahwa setiap orang patut memperoleh hak hidupnya, dan hukuman mati bukanlah akhir dari sebuah solusi. Dengan tidak melempari batu, Yesus bukanlah turut berdosa. Tetapi Yesus menghargai hidup, maka Yesus menemukan solusi terbaik untuk memperjuangkan hak hidup orang banyak, sekalipun orang itu berdosa. Memang dalam penyelamatan jiwa perempuan itu, harga diri Yesus jatuh karena turut mendapatkan penilaian dari masyarakat bahwa diri-Nya juga berdosa. Yesus rela kehilangan harga diri demi keselamatan banyak orang dan juga reformasi terhadap hukuman mati tersebut. Solusi akhir yang diberikan Yesus kepada perempuan itu hanya pembebasan atas dosa yang dilakukannya, sekaligus Yesus memberikan catatan khusus kepada perempuan itu agar dia tidak melakukan hal yang serupa lagi.

Yesus sendiri juga bagian dari penerima hukuman mati. Banyak hal telah disangkakan dan dituduhkan sebagai jerat agar hukuman mati itu dilayakkan terhadap Yesus. Yesus banyak menolong dan membebaskan orang dari hukuman mati, namun tidak seorangpun yang membebaskan-Nya dari hukuman mati, termasuk Petrus yang berani menyangkal-Nya, Yudas Iskariot sang pengkhianat, lalu para murid yang lain lari namun sebagian lagi secara diam-diam mengikuti proses hukuman mati itu. Yesus dijatuhi hukuman mati karena selain mengakui diri sebagai Anak Allah (Son of God), juga menentang hukum dan adat istiadat yang berlaku saat itu. Dengan penjatuhan hukuman mati dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai satu-satunya solusi yang paling tepat untuk menyudahi sosok seperti Yesus Sang Reformasioner. Dalam pandangan masyarakat, apabila sosok seperti Yesus ini hadir di dunia, akan merusak segalanya termasuk generasi muda sebagai korbannya. Maka dengan melenyapkan satu orang (pengedar/ pembawa perubahan) yakni Yesus, generasi muda terselamatkan, hukuman mati pun menjadi masih layak diterapkan, dan tidak akan ada lagi penentang hukuman mati bagi penerimanya.

Kalau Yudas sadar akan perbuatannya lalu mengambil solusi dengan gantung diri, namun berbeda dengan Petrus. Selain Petrus lari dari kenyataan lalu menyangkal, namun pada akhirnya Petrus tersadar ketika dia mencoba lari kembali dari hukuman mati yang harus diterimanya dari kaisar Nero dan berjumpa dengan Yesus lalu mendapatkan teguran dengan mengatakan " Quo Vadis Petrus ? " artinya "Kamu mau kemana Petrus? Haruskah Aku tersalibkan kembali untuk kedua kalinya?" Dalam penyesalan itu akhirnya Petrus urungkan diri dan kembali ke Roma untuk dihukum mati. Namun karena kesadaran akan kedosaannya, maka Petrus tidak mau disalib seperti halnya Yesus, melainkan disalib terbalik. Tempat itu sekarang bernama Basilika Santo Petrus. Bukan hanya Petrus yang mengalami demikian, Rasul Paulus pun mengalami hal serupa ketika memasuki Kota Roma. Rasul Paulus ditangkap dan dipenggal kepalanya lalu jatuh 3 kali ke tanah.

Semenjak Yesus wafat, proses hukuman mati tetap diberlakukan termasuk bagi para pengikut ajaran Yesus. Jutaan pengikut mengalami hukuman mati secara sadis; ada yang dibakar hidup-hidup, ada yang dilemparkan untuk menjadi santapan binatang buas, ada yang dipenggal, ada yang mengalami hukuman picis sampai mati dan berbagai kekejian lainnya hanya untuk pembenaran terhadap hukuman mati. Semua itu diberlakukan agar generasi yang mengikuti ajaran Yesus tertumpas habis dan diharapkan tidak meracuni generasi yang akan datang. Namun pandangan itu ternyata salah dan keliru. Makin hukuman mati itu ditimpahkan, makin merajalela para pengikut Yesus sampai sekarang. Pengorbanan Yesus, Para Rasul, Para Martir dan Orang Kudus lainnya dalam memperjuangkan dan mempertahankan iman membuahkan rahmat melimpah, berjuang untuk perdamaian dan hak hidup bagi orang tanpa sebuah senjata dan peperangan, melainkan dengan kasih persaudaraan penuh kerelaan.

Maka hukuman mati sebenarnya bukanlah akhir dari sebuah solusi. Apabila kita berpegang pada penegakkan hukuman mati dan menutup diri untuk solusi yang lebih mulia, maka pikiran dan hati tidak akan pernah menemukan solusi yang mulia itu. Sebaliknya, dengan membuka terhadap solusi lain yang lebih mulia, maka solusi yang lebih mulia itu akan diperoleh dengan mudah, lebih bijak dan penuh cinta kasih.



No comments:

Post a Comment