Penulis : P. Dedy. S
Ternyata membangun kepercayaan diri antara diri sendiri dengan orang lain itu tidak semudah yang dipikirkan. Mayoritas setiap orang yang dapat mempercayai orang lain itu jikalau sudah terdapat bukti kebenarannya. Tanpa sebuah bukti nyata, pada umumnya seseorang akan sulit menerima, akhirnya menimbulkan persepsi negatif terhadap orang yang menyampaikan informasi yang bagi kita tidak benar, walaupun realitanya benar. Akibatnya, kita cenderung menjelekkan orang tersebut di depan umum dengan tuduhan penyampaian informasi yang tidak benar, padahal ketidakbenaran itu sendiri berasal dari diri kita yang terlalu menuntut bukti nyata dari sebuah informasi. Seandainya kita dapat mempercayai orang lain walau kadarnya mendekati 85%, segala prasangka buruk terhadap orang lain itu dapat dicegah. Hal ini tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kalau kita sudah mengalami kesulitan menaruh kepercayaan terhadap orang lain, maka kepercayaan diri kita terhadap Allah pun patut diragukan, mengapa? Bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada Allah yang secara fisik tidak nampak, padahal kepada sesamanya saja yang jelas nampak tidak dapat menaruh kepercayaan? Karena untuk memampukan diri kita untuk percaya kepada Allah yang tidak nampak, perlu terlebih dahulu mampu menaruh kepercayaan diri terhadap sesamanya. Sebab sesama itu lebih nyata daripada wujud Allah. Kalau seseorang tetap bersikeras mengaku diri percaya dan beriman kepada Allah, tetapi tidak mampu percaya terhadap sesamanya, maka kepercayaan diri orang tersebut kepada Allah patut diragukan akan kebenarannya. Kemungkinan kepercayaan dan keimanan itu ada, namun hanya sebatas kata atau ucapan belaka.
Thomas salah seorang dari murid Yesus merupakan salah satu bukti sebagai sosok pribadi yang memiliki ciri seperti yang telah disebutkan di atas yakni pribadi yang percaya hanya sebatas ucapan saja. Thomas memang terkenal pemberani, ucapannya patut mendapatkan acungan jempol, sebab dialah yang pertama kali berjanji untuk setia dalam mengikuti hukuman mati bersama dengan Yesus di Yerusalem (Yoh 11:16). Namun keberaniannya menjadi rapuh ketika ajakan itu tidak disambut hangat oleh komunitasnya. Karena dasar inilah yang akhirnya membuat diri Thomas kehilangan kepercayaan terhadap komunitasnya ketika dikabarkan bahwa Yesus bangkit dan menjumpai mereka, walaupun kabar itu sesungguhnya benar.
Thomas baru kembali tersadar dari ketidakpercayaan dirinya terhadap komunitas, ketika matanya melihat sendiri kebenaran yakni sapaan Yesus terhadap dirinya. Ajakan Yesus terhadap Thomas yang disebut Didimus, sesungguhnya membangkitkan tingkat kepercayaan diri Thomas sendiri untuk tahu dan sadar bahwa untuk dapat percaya kepada Allah haruslah lebih dahulu mampu percaya terhadap komunitasnya sebelum kepercayaan itu menjadi meluas ke masyarakat.
Bagi Yesus, kepercayaan itu harus dimulai dari diri sendiri, lalu menuju lingkup terkecil yakni komunitas atau keluarga, selanjutnya meluas ke masyarakat. Apabila kita sudah mampu membangkitkan kepercayaan diri terhadap orang lain dan lingkungan sekitar, maka akan dengan mudah bagi kita untuk menaruh kepercayaan kepada Allah yang tidak nampak. Ini ditegaskan Yesus dengan mengatakan " Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya " (Yoh 20:29). Tetapi apakah hal ini mudah bagi kita untuk melaksanakannya? Tentu semuanya butuh proses, kemauan dan kesadaran tingkat tinggi. Hanya orang yang mau secara sadar akan berproses, tetapi ketika kemauan itu tidak lahir dari kesadaran, maka proses itu tidak akan terjadi. Memang sangat tidak mudah berubah dari pribadi yang sulit percaya menjadi pribadi yang penuh kepercayaan.
Memang patut diakui bahwa belum tentu pribadi yang kita percayai mampu melaksanakan kepercayaan yang diberikan. Namun, apabila kita bersedia kembali ke dalam diri kita dan bertanya " Apakah kita sudah memberikan contoh kepada orang lain bahwa diri kita sendiri mampu dipercaya?" kita akan menemukan bahwa itu semua dari kacamata kita sendiri. Mengapa refleksi ini muncul? Pada umumnya apa yang diperbuat orang lain sesungguhnya cerminan dari diri kita sendiri. Karena kita melihat dan menilai dari ukuran kaca mata kita. Maka, agar kepercayaan mampu mengubah keraguan, haruslah ada kemauan dalam diri kita untuk melakukan OLAH ROHANI terus menerus ( On Going Formation ).
No comments:
Post a Comment