Penulis: P. Dedy. S
Sumber: Markus 12:1-12
Sekilas tentang bejana
Bejana merupakan salah satu benda yang ada di sekitar diri kita. Benda ini terbuat dari tanah liat. Dalam pembuatannya, setiap pengrajin telah merencanakan kualitas benda yang dibuatnya itu. Namun realitanya, sekuat apapun bejana yang dibuat di tangan seorang pengrajin yang hebat, suatu saat akan mengalami keretakan dan pecah bahkan mengalami kehancuran berkeping-keping. Kalau sudah demikian tidak ada usaha lain, selain menambalnya kembali. Itupun kalau mampu menambal, memoles dan memulihkan keadaan. Namun, apakah setelah mengalami proses penambalan, bejana tadi sungguh-sungguh dapat mengalami pemulihan dari cacat fisik yang dimilikinya? Sepintas lalu mungkin benar, namun sejatinya tidaklah demikian. Walaupun bejana itu ditambal, dipoles dan dicat kembali, namun bejana itu tidak akan dapat memungkiri akan keadaan dirinya yang sebenarnya yaitu retak. Betapa angkuh dan munafiknya sebuah bejana, apabila dirinya bermegah atas kepalsuan yang dimilikinya, padahal sesungguhnya dirinya sendiri mengalami keretakan bahkan pecah. Kemegahan yang dimiliki akan menjadi sia-sia setelah orang mulai melihat kejangggalan yang ada di dalam dirinya. Apakah bejana tersebut tidak makin malu ternyata ditemukan adanya kemunafikan dan ketamakan di dalam dirinya, mengakui diri utuh namun sesungguhnya dirinya telah retak bahkan pecah.
Bejana hanyalah simbolis refleksif
Bejana yang digunakan dalam hal ini hanyalah bentuk simbolis dari diri kita sendiri. Diri kita ini hasil karya ciptaan Tuhan. Tuhan telah membentuk kita dari sejak awal sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Mulai dari karakter, keindahan dan segala macam keunikan. Walaupun telah menciptakan diri kita dengan segala kesempurnaannya, namun karena adanya karakter yang diciptakan di dalam diri kita, inilah yang membuat diri kita ini memiliki daya seni, daya saing dan kualitas yang berbeda satu sama lain.
Walaupun Allah yang menciptakan diri kita, bukan berarti diri kita maha kuat. Kita masih dapat mengalami keretakan diri akibat pergaulan di lingkungan dengan segala faktor situasi dan kondisi. Memang sejak awal kita diberikan akal budi dan kehendak bebas yang begitu murni, namun sampai seberapa kemurnian dan kekokohan itu mampu terjaga. Pelan-pelan lingkungan pergaulan telah turut membentuk kepribadian diri kita. Orang yang tinggal dalam lingkungan yang amburadul memang belum tentu kepribadiannya ikut amburadul. Mungkin saja berkat tinggal di lingkungan tersebut seseorang dapat belajar hidup lebih baik dan mulia. Begitu juga sebaliknya, orang yang tinggal dalam lingkungan yang baik, belum tentu menjamin bahwa kepribadiannya turut menjadi baik. Bisa juga mereka tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi amburadul. Inilah yang dimaksud dengan keretakan-keretakan itu.
Berbagai cara akan kita coba untuk menutupi segala kekurangan itu dengan berbagai hal yang baik, namun apakah dengan menutupinya sudah melepaskan kekurangan itu? Kalau kita berani jujur, kekurangan dan kelemahan itu akan tetap nampak walaupun sudah banyak usaha untuk menutupinya. Namun realitanya, banyak orang tidak berani mengakui dengan jujur segala kekurangan yang terdapat di dalam dirinya. Kemunafikan dan ketamakan selalu mendahului dan berusaha menutupi segala kekurangan yang dimiliki.
Apakah selama orang yang munafik dan tamak itu mampu bertahan di dalam kemunafikan dan ketamakannya? Sepandai-pandainya tupai meloncat, suatu saat akan jatuh juga. Kota atau rumah atau dusun yang berlokasi di suatu tempat tersembunyi, apakah selamanya mampu menyembunyikan diri? Ini berarti tidak seorangpun yang mampu menyembunyikan segala sesuatu dari orang lain. Bangkai saja masih dapat tercium walaupun bersembunyi dimanapun. Mungkin secara aroma tidak tercium, sehingga seolah-olah tidak ada bangkai di sekitar lingkungan diri kita, namun sebuah bangkai mampukah bersembunyi dari seekor lalat? Lalat adalah binatang yang dapat digunakan sebagai pendeteksi adanya bangkai. Dimana banyak lalat berkerumun, pasti di situ ada bangkai. Demikianpun sepandai-pandainya diri kita menyembunyikan sesuatu, suatu saat akan diketahui juga. Manakah yang lebih memalukan, membuka diri atau menutupi segala sesuatu dengan bersikap munafik dan tamak? Kalau diri kita berani tampil tanpa sebuah kemunafikan dan ketamakan, maka kita tidak akan mengalami kehilangan harga diri sedikitpun. Sebaliknya semakin kita bersikap munafik di depan umum, sekali saja kemunafikan dan ketamakan itu terbongkar, harga diri kita akan terjatuh tersungkur. Otomatis, rasa malu yang kita miliki bukan lagi kecil, justru semakin besar dan makin menyudutkan diri kita sendiri. Kalau sudah demikian, sehatkah kepribadian diri yang seperti itu? Sehatnya kepribadian diri kita, kembali ke dalam diri kita sendiri bagaimana cara kita harus tampil di depan umum dengan menampilkan diri kita secara apa adanya.
No comments:
Post a Comment